Kamis, 03 Mei 2012

If I Diminish You, I Diminish Myself


Dalam budaya dan tradisi Afrika, penghargaan tertinggi yang diberikan kepada seseorang adalah: “Yu, u nobuntu,”  sebuah ungkapan terimakasih karena telah melakukan hal-hal yang terpuji, yaitu “ubuntu.”   Hal tersebut diberikan semata-mata karena apa yang telah dilakukan orang tersebut demi kemanusiaan, bagaimana menghargai sesama dan bagaimana mereka memandang mereka sendiri dalam sebuah relasi yang mendalam.   “Ubuntu” mengacu pada ajaran pokok filosofi Afrika yaitu esensi bagaimana manusia menjadi manusia.
Konsep ini dibagi menjadi dua bagian.  Pertama, seseorang harus bersikap bersahabat, ramah, peduli dan tenggang rasa.  Dengan kata lain, seseorang yang menggunakan kekuatannya mewakili sesamanya–orang yang lemah dan menderita–tidak mengambil keuntungan pribadi dari hal itu.   Orang tersebut memperlakukan sesamanya seperti halnya dirinya sendiri ingin diperlakukan.  Akibat dari hal ini,  mereka menggunakan konsep kedua yaitu keterbukaan dan berjiwa besar yang menitikberatkan pada berbagi nilai-nilai kebersamaan.
Seseorang dengan konsep “ubuntu” akan bersikap persuasif dan terbuka.  Mereka terbiasa bersikap ramah dan simpatik.  Mereka tidak merasa terancam oleh kebaikan orang lain karena satu-satunya tujuan adalah mempersembahkan apa yang mereka miliki untuk kepentingan yang lebih besar.   Sama halnya dengan ungkapan Cartesian berbunyi,  ”Saya adalah apa yang saya pikirkan,”  ubuntu mengungkapkan hal serupa, “Saya manusia karena saya bagian dari kemanusiaan.”    Dengan kata lain,  orang itu ada karena ada orang lain.  Konsep berpikir ini dengan sempurna diterjemahkan ke dalam kata “me-we.”   Tak seorangpun dari kita datang ke dunia ini dengan sempurna.  Kita tak tahu bagaimana cara berjalan, berbicara, berpikir kecuali kita belajar dari manusia sebelumnya.   Jadi kita sangat membutuhkan manusia lain untuk menjadi manusia.
Oleh karena manusia saling membutuhkan,  maka kecenderungan alamiah kita adalah bekerjasama dan saling menolong.  Jika hal ini keliru,  tentunya spesies manusia sudah punah sejak dulu.   Tapi nyatanya tidak.  Manusia tetap bertahan di tengah kejahatan dan perang yang membawa penderitaan dan bencana selama berabad-abad.   Kegagalan mengendalikan kecurangan, kemarahan, keinginan membalas dendam telah nyata merusak harmoni kemanusiaan.   Ubuntu menjelaskan bahwa mereka yang mempromosikan kekerasan  dan de-humanisasi adalah juga sebagai korban,  yaitu korban terhadap etos, ideologi,  sistem ekonomi atau bahkan tujuan agama yang diselewengkan.   Konsekuensinya,  mereka telah ter-dehumanisasi oleh diri mereka sendiri seperti apa yang telah mereka lakukan terhadap sesamanya.
Ketika mereka melakukan semuanya secara tak manusiawi,  pada saat yang sama sebenarnya mereka sedang melakukan hal yang sama terhadap diri mereka sendiri.  Orang yang berlaku semena-mena terhadap orang lain sesungguhnya dia sedang berlaku semena-mena terhadap diri mereka sendiri.
Jadi nyata sekali bahwa untuk keluar dari situasi tersebut dibutuhkan kebesaran jiwa.  Inilah esensi dari “ubuntu”  atau “me-we”  dan hal ini diwujudkan  secara nyata dalam hidup dan karya Mahatma Gandhi.   Sepanjang hidupnya dia secara konsekuen mengorbankan dirinya dan membuka diri untuk kepentingan sesama.   Segala yang dilakukan oleh Gandhi merupakan cerminan “ubuntu.”   Dia telah menolong yang miskin, menderita dan disingkirkan.  Membebaskan mereka dari kolonialisme,  tak peduli berapapun harga yang harus dibayar sebagai penggantinya.  Pada akhirnya perjuangan itu meminta hidupnya sebagai tebusan.   Gandhi telah mewariskan inspirasi yang nyata terhadap kemanusiaan.
Ubuntu-nya Gandhi menunjukkan bahwa satu-satunya cara kita bisa menjadi manusia adalah memalui cara kemanusiaan.
———————————
Diterjemahkan dari kata pengantar pada buku,  ”Peace, The Words and Inspiration of Mahatma Gandhi,”   oleh Uskup Desmond Tutu.
13024935681994202993


“Goat Mentality”


Terinspirasi oleh tulisan Katedra Rajawen tentang “Tersesat dalam Agama,” saya ingin menyampaikan hal serupa yang banyak terjadi di masyarakat dan tanpa kita sadari akan menjadi ancaman bagi hidup bermasyarakat.
Banyak praktik beragama di masyarakat yang sudah jauh menyimpang dari kaidah, hakikat dan norma beragama. Saya ingat seorang kompasioner pernah menulis bahwa apapun yang dianjurkan dalam kitab suci, ya itulah yang harus dilaksanakan dalam hidup sehari-hari. Andai lebih banyak orang seperti ini hidup di Indonesia, saya yakin umur negara Indonesia tidak akan lama lagi. Yang tinggal hanyalah beberapa komunitas agama yang saling berperang dan membunuh.
Kitab suci bukanlah untuk kita. Kalimat-kalimat dalam kitab itu dibuat oleh manusia dan ditujukan untuk orang-orang pada zaman itu. Meski kita tahu bahwa orang-orang yang menulis itu dipimpin oleh Roh Kudus, sehingga apa yang ditulis tidak akan menyimpang dari kehendak Allah. Jadi kalau kita hendak mencerna makna kitab suci, mencernalah dalam konteks kekinian, tanpa menghilangkan esensinya.
Manusia bukanlah “goat.” Mereka diberi anugerah akal, budi dan pikiran yang mampu digunakan untuk mencerna makna yang tersirat dalam sebuah kalimat, bukan sekedar menelannya mentah-mentah. Kalau hanya sekedar membaca kemudian mempraktikkan persis seperti yang dibacanya, apa bedanya manusia dengan “goat” yang biasa ditarik ke kiri dan ke kanan tanpa pernahberpikir hendak dibawa kemana?
ADa sebuah kalimat bijaksana dari seorang tokoh pada zaman dahulu yang sampai sekarang masih sangat relevan. “Kamu pernah mendengar perintah, ‘Mata ganti mata,’ tapi aku berkata kepadamu, kalau ada yang menampar pipi kirimu, berikanlah juga pipi kananmu.” Kalimat ini dapat diartikan sebagai pembaharuan perintah dalam konteks kekinian. Siapapun harus siap untuk berkorban dan saling memaafkan.
Milikilah mental manusia dan jangan bangga menyimpan mental seekor kambing.

Merapi, Mbah Marijan dan Sebuah Komitmen


Komitmen.   Barangkali ini sudah menjadi barang langka di era sekarang ini.   Ketika seseorang mengatakan YA,  sejatinya di belakang pernyataan itu ada berbagai konsekuensi yang harus dijalani.  Namun banyak orang dengan mudah mengatakan  kata  itu tanpa merasa perlu mengikuti dengan tuntutan-tuntutan di belakangnya.
Janji seorang pejabat publik untuk menyejahterakan rakyat pun hakikinya merupakan sebuah komitmen yang harus diemban selama dia menjabat.    Namun sering ditemui bahwa semua itu hanya pemanis saat hendak menjabat.   Di belakangnya,  semua akan berjalan sendiri,  bahkan tanpa campur tangan pejabat itu sebagai penentu kebijakan.
Namun pagi ini saya dibuat merasa bersalah tentang statemen di atas karena ternyata saya keliru.  Pagi ini,   seorang Mbah Marijan memberi pelajaran pada saya tentang  arti kata YA.  Kata yang mengandung segala konsekuensi itu, benar-benar telah dilaksanakan oleh Mbah Marijan.   Dia yang diberi kepercayaan oleh Sultan Hamengkubuwono IX ,  Sultan sebelum Sultan yang sekarang,  sejak masa mudanya untuk menjadi pengawal penduduk sekitar Merapi terhadap ancaman bencana,   telah melaksanakan tugasnya secara paripurna sampai saat-saat terakhir.
Pagi ini saya belajar bahwa YA adalah YA,  lengkap dengan segala konsekuensi yang mengikutinya.  Sebuah komitmen yang indah.  Terimakasih,  Mbah Marijan.

Kenapa Anda Mau Dijajah….???


Punya kesempatan menempuh pendidikan dan berkawan dengan
orang-orang dari berbagai bangsa, selain membanggakan juga membuka
peluang terjadinya interaksi yang tak terduga bahkan sering sangat
berkesan sampai kapanpun.   Itu yang pernah saya alami ketika
berkesempatan mengambil post-graduate study di negara tetangga.
Ada seorang kawan berkebangsaan Maroko namun sebenarnya dia sudah lama
menjadi warga negara Belanda.  Dalam kesempatan santai,  setelah bicara
tentang banyak hal dan saling menanggapi,  iseng-iseng saya tanyakan
kenapa orang Belanda menjajah bangsa Indonesia selama beberapa abad.
Secara tak terduga,  dengan santai kawan itu menjawab dengan pertanyaan,
“Kenapa bangsa anda mau dijajah…?”
Dari jawaban tak terduga itu lalu saya mencoba melakukan refleksi.
Mungkin memang benar adanya.  Andai saat itu Nusantara sudah menjadi
Indonesia seperti sekarang,  andai orang-orang Nusantara saat itu sudah
memiliki wawasan kebangsaan dan persatuan sebagai bangsa yang besar,
andai saat itu sikap mental orang Nusantara jauh dari sikap
feodalistik,  menjilat dan sebagainya,   mungkin penjajah tidak akan
bisa menguasai seluruh sendi kehidupan masyarakat seperti saat itu.
Saya tahu bahwa sejarah tak dapat diulang untuk waktu sekarang.   Orang
Belanda takkan datang lagi dengan wajah yang sama untuk menjajah.  Namun
saya berpikir andai sekarang ini ada penjajah versi baru datang lagi ke
Indonesia,  dari bangsa manapun datangnya,  entah itu berwujud sebagai
investor asing,  entah itu menggunakan kedok agama,  akankah bangsa kita
sudah siap menghadapinya….?
Melihat sikap mental kita yang cenderung stagnan dari waktu ke waktu,
kita harus semakin menyadari bahwa kita bukan bangsa yang unggul.
Dengan modal kesadaran itu sebenarnya sudah cukup untuk membuat kita
berani bangkit melawan penjajahan dalam wujud apapun yang mencoba masuk
dan  merusak tatanan berbangsa kita.   Meskipun momentum reformasi tahun
1998 nampaknya sudah menjadi dingin dan kita kembali kebingungan dengan
banyaknya kerusakan sendi-sendi bangsa  bersifat sistemik,   tak ada
salahnya kita berharap ada reformasi ke-dua yang akan membawa Indonesia
kembali berjaya menjadi  Nusantara baru seperti pada saat itu.
Hal itu tentunya dapat kita raih dengan keyakinan penuh apabila seluruh
elemen masyarakat bersatu padu mewujudkannya.    Kecuali….   ya seperti
yang dikatakan kawan dari Belanda itu tadi,  KITA MEMANG MAU
DIJAJAH….!!!!
Sekedar refleksi pribadi.
Salam 

Darimanakah Mereka Itu…?


Dalam sebuah wawancara pribadi dengan Gus Dur di kantornya Kramat Raya, Jakarta awal  2007 untuk melengkapi bahan dissertasi,  saya sudah menyiapkan beberapa pertanyaan penting yang berkaitan dengan bangkitnya fundamentalisme Islam di Indonesia,  lebih khusus lagi setelah jatuhnya Soeharto atau lebih dikenal sebagai era reformasi.    Setelah seluruh pertanyaan saya sodorkan kepada sekretaris pribadinya dan dinyatakan lolos,  saya mulai sesi wawancara itu.
Setelah diawali dengan guyonan segar ala Gus Dur sebagai “ice breaker”,  mulailah ke pertanyaan inti.
Saya (S):  “Apa tanggapan Gus Dur sebagai pemuka organisasi massa Islam terbesar di Indonesia melihat mulai bangkitnya fundamentalisme Islam di Indonesia pasca reformasi..?”
Gus Dur (GD):  “Ah, biarkan saja.   Biar masyarakat yang menilai apa yang baik menurut mereka.”
Perlu diketahui bahwa saat itu sedang hangat-hangatnya dibicarakan tentang birokratisasi gerakan Islam, sebuah upaya memasukkan gerakan Islam radikal ke dalam sistem birokrasi, antara lain dengan munculnya partai-partai baru berbasis Islam fundamentalis yang mulai laris bak kacang goreng.
S  :   Gus,  sekarang ini perhatian  masyarakat bahkan di pedesaan sudah mulai beralih dari kiai-kiai kampung yang selama ini menjadi panutan mereka ke Habib-habib yang mengaku memiliki hubungan darah dengan Nabi Muhammad. Apakah tidak ada langkah antisipatif dari NU sebagai organisasi Islam mainstream menyikapi hal ini..?
GD  :  Hanya waktu yang akan membuktikan kebenaran semua itu.  Nahdlatul Ulama sebagai organisasi tak punya agenda khusus untuk menyikapi hal ini.  Meskipun tahun ini (2007) dicanangkan sebagai tahun kampanye bagi pentingnya gerakan Islam moderat di Indonesia,  penilaian akhir tetap diserahkan kepada masyarakat.
S  :   Bagaimana dengan munculnya partai-partai islam yang berbasis fundamentalisme ini,  Gus.
GD  :  Meskipun nampaknya mereka sudah mulai besar, bahkan kelihatannya lebih besar daripada partai Islam lain,  sebagai contoh pencalonan gubernur DKI oleh partai ini,  ada bocoran bahwa calon gubernur  sudah mengeluarkan 14 Milyar untuk memuluskan hal itu,   keadaan ini tidak akan berlangsung lama.   Lihat saja nanti Pemilu 2009, mereka tidak akan sebesar yang dikira.
Gus Dur tidak menduga bahwa tak lama setelah itu, terjadi penggembosan dari dalam PKB sendiri oleh keponakannya.  Dan mungkin sebagai akibat dari itu,  partai Islam fundamentalis memperoleh kenaikan suara signifikan pada pemilu 2009.
S  :   Sebenarnya siapa dan darimana mereka ini, Gus..?
GD  :   Organisasi mereka berawal dari keprihatinan yang terjadi di Palestina.  Mereka mengorganisasi diri dan menamakan “Moslem Brotherhood”  atau Ikhwanul Muslimin dan menyebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia.    Organisasi yang dilarang di negeri asalnya Mesir ini,  merembet melalui mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang belajar di sana.   Mereka membawa ideologi terlarang ini setelah mereka pulang ke Indonesia. Mereka mengadopsi kekerasan sebagai solusi dan selalu mengatasnamakan rakyat Palestina sebagai alasan apapun tindakan mereka.
Saya jadi ingat beberapa waktu sebelumnya pernah ada warning dari seorang penulis di harian terkenal di Indonesia tentang pentingnya mewaspadai mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Mesir terhadap kemingkinan terimbas gerakan Islam fundamentalis ini.
Saya juga berusaha menarik benang merah tentang  apa yang saya dapat dari Gus Dur ini dengan pernyataan Presiden PKS menyikapi konflik Maluku tahun1999-2001.  Saat itu, di tengah upaya pihak keamanan disana untuk meredam konflik horizontal tersebut, dalam pernyataan resminya yang di-release dan ditandatangani oleh Nur Mahmudi Ismail sebagai Presiden,   PKS  justru memprovokasi masyarakat Islam Maluku untuk mempersenjatai diri melawan saudara mereka.   Akibat dari ini,  konflik di Maluku terjadi berkepanjangan dan baru benar-benar berakhir tahun 2004.   Itupun setelah TNI mengeluarkan Batalyon gabungan untuk menyingkirkan Laskar Jihad yang ikut andil membuat konflik semakin semarak disana.
Sekarang ini sudah sekitar empat tahun sejak wawancara itu.   Saya semakin merasakan banyak yang relevan dengan pernyataan Gus Dur.   Kekerasan berdalih agama sudah semakin sering terjadi dan seolah menjadi semakin lumrah.   Penghormatan terhadap hukum sudah mendekati titik nol.  Bahkan ada kelompok masyarakat yang merasa berdiri di atas hukum dan apapun yang diperbuat takkan tersentuh hukum.   Mereka merasa lebih bersaudara dengan orang-orang di Arab sana daripada dengan saudara sebangsa sendiri.    Bila terjadi bentrokan sedikit saja di Timur Tengah sana,    dengan sigap segera terbentuk pos-pos relawan untuk dikirim kesana.   Sangat kontraditif dengan nasib TKI yang sudah bertahun-tahun terlantar di kolong jembatan,  tak ada satupun relawan yang dikirim kesana.
Saya sebagai pribadi merasa sangat sedih dengan perkembangan terakhir di Cikeusik dan Temanggung hari ini.   Inikah buah yang kita tanam karena kelengahan kita membiarkan gerakan fundamentalis ini berkembang di Indonesia..?   Ibarat bibit pohon,  tunas sudah muncul sejak era reformasi tahun 1998.    Sekarang Indonesia tinggal menuai buahnya.   Buah bukan dari anak kandung pertiwi,  terasa pahit…  getir…!
Semoga menjadi kewaspadaan kita semua.

My Mother Asked For It


Pada setiap sesi wawancara bahasa Inggris bagi perwira yang akan diberangkatkan ke luar negeri,  baik itu karena penugasan, pendidikan atau yang lain,  kadang terjadi hal-hal menarik untuk disimak malah kadang agak lucu .   Untuk kali ini kebetulan saya yang ditugasi untuk menghadapi calon dalam sesi wawancara itu.
Saya sengaja mencoba menanyakan dua hal kontradiktif-aktual yang dihadapi personel itu saat ini.  “Mengapa anda tetap berniat menempuh pendidikan luar negeri ini sedangkan sebenarnya anda masih punya kesempatan besar untuk menempuh jenis pendidikan yang sama di dalam negeri..?”,  tanya saya.  “Apakah itu karena alasan prosperity atau ada alasan lain yang bisa anda sampaikan..?”
Dengan pertanyaan itu sebenarnya saya mengharapkan ada alasan-alasan logis yang keluar dari mulut personel tersebut sehingga diskusi menjadi lebih berkembang.  Namun saya dibuat agak terkejut saat mendengar beberapa alasan yang sebenarnya lebih pada alasan pribadi.  “Saya pernah bertanya kepada ibu saya dan menurut pendapatnya, pendidikan di luar negeri jauh lebih bagus”,  dia mencoba berargumen.   Dan  tiba-tiba, “Ting…!”  Sinyal di otak saya berbunyi dan mengatakan bahwa itu bukan jawaban yang saya inginkan.
Sebelum dia menyelesaikan seluruh argumennya,  saya mencoba memotong dengan menekankan kembali apakah alasan utamanya karena prosperity,  karena selama pendidikan nantinya dia akan memperoleh allowance yang cukup besar.  Jawaban berikutnya sekali lagi membuat saya terkejut.   “Dari hasil diskusi dengan ibu saya,  kami tak pernah mempertimbangkan masalah keuangan itu.  Bagi kami,  bisa menempuh pendidikan di luar negeri saja sudah merupakan kebanggaan.”   Hhmmm…   Lalu saat berikutnya saya tidak tega untuk menanyakan lebih lanjut apakah sebegitu dominan peran ibu bagi seorang perwira seperti anda.
Sebenarnya saya menginginkan jawaban logis dari personel itu tentang alasan utama mengapa dia memutuskan untuk mengambil kesempatan pendidikan itu.   Bukan karena kata orang lain,  tapi terlebih apa alasan utamanya menurut dirinya sendiri.  Namun sampai akhir sesi tersebut,  saya tak berhasil mendapatkan jawaban memuaskan yang saya harapkan.   Setelah menyelesaikan sesi wawancara tersebut,  saya mencoba menganalisis barangkali ada yang salah dalam pertanyaan saya  atau memang ada semacam gejala baru bahwa peran seorang ibu begitu dominan bahkan untuk mengambil keputusan penting bagi seorang perwira.
Mudah-mudahan untuk pertanyaan yang lebih penting seperti,   “Kenapa tembakan anda arahkan pada  kelompok demonstran yang jelas tak bersenjata..?”,  takkan pernah terdengar jawaban,  “Because my mother asked for it.”
Sekedar berbagi.

Mubarak, No! Ikhwanul Muslimin, No No No!


Proses transformasi kekuasaan di Mesir yang sedang berlangsung sekarang ini banyak menyedot perhatian masyarakat,  bukan hanya sekitar kawasan Timur Tengah tapi bahkan dunia.   Banyak kepentingan yang bermain di balik tetap tegarnya Hosni Mubarak untuk tetap berkuasa.   Meski Obama secara eksplisit mengatakan bahwa peralihan kekuasaan yang terjadi di Mesir harus berlangsung damai dan segera,  namun munculnya spekulasi adanya diplomasi di balik layar dan tawar menawar politik tetap dominan.
Kekhwatiran bahwa akan munculnya kepemimpinan yang tidak mengakomodasi proses perdamaian regional yang susah payah dibangun selama ini nampaknya menjadi faktor utama.   Nyaris tak ada tokoh pengganti Mubarak yang memiliki visi yang serupa.   Meski beberapa hari lalu muncul tokoh Umar Sulaiman, ketua badan intelijen Mesir  yang dilantik menjadi Wakil Presiden,  jabatan yang selama ini sebenarnya tak pernah ada dalam konstitusi Mesir,  menjadi harapan baru yang memiliki kesamaan visi dengan Mubarak,  jalan menuju kursi Presiden menggantikan Mubarak nampaknya masih panjang.
Alternatif berikutnya adalah tokoh ilmuwan nuklir, El Baraday,  yang sudah memiliki track record positif di dunia internasional.   Namun kemunculannya dinilai agak terlambat di tengah ekspektasi masyarakat yang mendesak yang begitu besar.   Apalagi El Baradai secara faktual tak memiliki dukungan masa internal yang memadai.
Pandangan masyarakat internasional tentu saja akan mencari sosok lain di antara elemen masyarakat Mesir untuk bisa duduk sebagai pucuk pimpinan yang dapat mewadahi seluruh kepentingan, baik itu kepentingan internal, regional maupun masyarakat internasional.  Lirikan berikutnya mengarah pada organisasi Ikhwanul Muslimin atau Muslim Brotherhood.   Semenjak maraknya gerakan Muslim Brotherhood di Mesir yang dipicu oleh keprihatinan terhadap masyarakat Palestina,  perhatian masyarakat dunia beralih kesana.   Gerakan yang memiliki basis massa yang besar di Mesir dan negara sekitar seperti sebagian Palestina, Turki, bahkan Malaysia dan Indonesia,  mengadopsi perjuangan Islam garis keras yang memungkinkan perjuangan bersenjata, apalagi terhadap musuh abadi mereka, Israel.    Namun tampaknya hal inilah yang menjadi ganjalan masyarakat dunia untuk merestui munculnya sosok pimpinan Mesir dari kalangan Ikhwanul Muslimin.   Mereka tidak bisa begitu saja mempercayakan masa depan perdamaian regional Timur Tengah hanya pada satu gerakan masyarakat yang mengadopsi kekerasan sebagai jalan perjuangannya,  meskipun secara faktual  mereka memiliki basis massa yang signifikan.
Akankah perjuangan rakyat Mesir untuk memiliki pemimpin baru yang visioner,  mewadahi seluruh kepentingan nasional dan diterima masyarakat internasional masih akan panjang…? Yang pasti rakyat Mesir sudah jenuh dengan kepemimpinan Mubarak selama lebih dari 30 tahun yang dituduh penuh korupsi dan kecurangan,  namun sampai saat ini belum muncul tokoh alternatif penggantinya.  Akankah itu Umar Sulaiman,  atau El Baraday..?
Andai  kita bisa mendengar suara hati rakyat Mesir sekarang ini,  akan terdengar suara lantang penolakan terhadap dua hal:   Mubarak…no!   dan  Ikhwanul Muslimin…  no..no..no..!

Mobil Seharga Sepuluh Dollar


Persahabatan sejati memang terkadang tak bisa dinilai dengan besarnya uang yang akan kita peroleh atau fasilitas apa yang akan didapat.   Justru malah sebaliknya, persahabatan sejati membutuhkan pengorbanan, meski kadang terbungkus dalam basa-basi keseharian.   Namun inti persahabatan tetap tak dapat dielakkan.  Pengalaman berikut ini mungkin bisa menggambarkan semua itu.
Saat mendapat kesempatan menempuh jenjang pendidikan lebih tinggi di negeri orang,  kerepotan mengurus dokumen yang dibutuhkan bisa menyedot konsentrasi ekstra.  Belum lagi harus bolak-balik antara apartemen, kampus, kantor imigrasi dan kedutaan,  energi untuk memikirkan hal lain yang lebih penting bisa terkuras habis.   Mengetahui hal ini,  seorang sahabat warga setempat yang kebetulan mengambil program yang sama sempat memberi perhatian khusus.   Meski sarana transportasi umum  sudah sangat mapan di negeri itu,   dia menyarankan untuk menggunakan taksi.    Selain hemat waktu karena tidak harus menunggu terlalu lama di terminal atau stasiun,  biaya taksi juga relatif tidak memberatkan,  apalagi dibanding dengan waktu yang bisa dihemat selama mengurus berbagai hal termasuk selama menyelesaikan kuliah.  ”Hhmm… saran yang bagus,”   pikir saya.
Selang beberapa hari setelah itu,  pada suatu sore tiba-tiba telepon saya berdering.    Muncul nama  Lim Kheng Bin di layar hand phone  saya.    Setelah berbasa-basi sedikit,  Kheng Bin  cerita bahwa dia mau menjual mobilnya yang sudah lama tak pernah dia gunakan karena kebetulan dia selalu memakai mobil yang lain.   Lalu sambil bercanda saya bertanya berapa uang yang dia butuhkan sebagai pengganti mobil itu.    Setelah diam sejenak,   dia menyebutkan jumlah yang tak pernah saya sangka sebelumnya,  ”Ten dollars,”   katanya dengan yakin.
Saya berusaha mencerna dengan cermat tawaran Kheng Bin itu.   Saya tahu dia tidak sedang main-main dengan tawaran itu.  Akhirnya,  pada pertemuan beberapa hari berikutnya,  saya katakan bahwa saya berminat membeli mobilnya.   Ternyata… wow, sebuah mobil Toyota Corolla.   Meski bukan keluaran terbaru,  namun keberadaan mobil itu di tangan saya sungguh akan sangat membantu mobilitas  selama menempuh pendidikan di negeri ini.    Mobil segera berpindah ke tangan saya dan uang sepuluh dollar beserta dokumen jual-beli yang dibutuhkan segera selesai.   Dan selama lebih dari setahun berikutnya,  mobil itu memang terbukti sangat menolong.
Menjelang berakhirnya masa studi,  saya mulai mengemasi barang-barang dan sebagian saya kirim ke tanah air via jasa pengiriman.   Lalu pada malam hari menjelang acara convocation esok harinya,   saya menelepon Kheng Bin.    Saya katakan padanya bahwa semua barang sudah saya kemasi dan sebagian sudah saya kirim ke Indonesia.  Namun saya masih kesulitan dengan mobil saya dan bermaksud menjualnya disini.     Lalu dengan ringan dia bertanya berapa harga yang saya inginkan untuk mobil itu.   Setelah berpikir sejenak,  ”Ten dollars,” kata saya dengan mantab,  semantab saat setahun lalu dia menawarkan mobil itu pada saya.
Setelah bertahun-tahun berlalu, bahkan sampai saat inipun saya masih tetap menjalin kontak dengan Lim Kheng Bin,  sahabat sekaligus mentor saya selama menyelesaikan pendidikan di negeri orang.    Dalam beberapa kesempatan bicara  via telepon saya katakan,  ”Whenever you come to Indonesia,  I’ll offer  you a car  to buy.    But  I’ll provide you  a best price,  and  make  sure it will be more than ten dollars.”   Biasanya setelah itu kami tertawa bersama.
Persahabatan memang seharusnya identik dengan pengorbanan.

Penyusupan di Tubuh KPK, Waspadai…!


Menyimak proses rekrutmen para calon pimpinan KPK yang hangat diberitakan di berbagai media massa,  sebenarnya banyak hal menarik yang bisa dipetik manfaatnya untuk kepentingan bangsa.  Kita tentu saja tidak mungkin meragukan kredibilitas para penguji seperti,  Imam Prasojo,  Rheinald Khasali dan lain-lain.   Apalagi panitia itu dipimpin oleh Menteri Hukum dan HAM, menteri yang memang membidangi masalah hukum di negeri ini.  Yang justru perlu kita waspadai adalah  proses rekrutmen itu sendiri yang sangat rentan terhadap kepentingan dan  penyusupan.
Telah terbukti beberapa kali proses rekrutmen para pimpinan komisi-komisi di bawah Presiden ternyata tidak kebal terhadap kepentingan-kepentingan politik praktis.   Masih ingat apa yang terjadi pada tubuh  KPU  pada Pemilu 2004?   Setelah proses pemilu selesai dan menyisakan banyak masalah korupsi di tubuh KPU pada waktu itu,  seorang anggota termuda justru merasa bersih dari kasus korupsi berjamaah tersebut dan segera “melompat”  ke Parpol pemenang pemilu.  Upaya penyelamatan diri dengan berlindung di belakang parpol pemenang pemilu ini terbukti ampuh.  Tak ada satupun LSM ataupun lembaga negara yang menyinggung hal ini lebih jauh.  Belakangan baru tersiar kabar,  mantan anggota KPU yang kemudian terpilih menjadi ketua umum parpol besar itu ternyata juga tidak lepas dari masalah korupsi anggaran negara,  meskipun dalam konteks yang berbeda.
Pada Pemilu 2009 hal tersebut terulang kembali.   Komisi penyelenggara pemilu yang seharusnya menjadi lembaga independen dan terbebas dari pengaruh parpol manapun tetap saja gagal mempertahankan independensinya.    Lagi-lagi,  seorang anggota KPU melakukan lompatan bersejarah untuk  masuk ke dalam parpol pemenang pemilu.   Meski awalnya Andi Nurpati dihadang berbagai kritikan tentang ini, namun langkahnya tetap lancar sampai resmi dilantik menjadi anggota Demokrat.   Belakangan juga baru diketahui ternyata pada saat dia menjadi anggota KPU telah terbukti menyalahgunakan kewenangannya untuk kepentingan parpol tertentu.
Kembali ke masalah rekrutmen para pimpinan KPK oleh panitia seleksi,  apakah kita akan terus mengulangi kesalahan yang sama kali ini?   Jangan pernah menyerahkan cek kosong kepada Pansel untuk menyelasaikan urusan negara sebesar ini.   Kalau proses itu tidak melibatkan lembaga independen yang ikut mengawasi,  kesalahan pada pemilihan anggota KPU beberapa kali sebelumnya bukan mustahil akan terulang pada pemilihan anggota KPK kali ini.    Masyarakat memang tidak meragukan kredibilitas Bambang Wijoyanto sebagai runner up calon Ketua KPK sebelumnya,  namun munculnya nama-nama di bawah Bambang yang belum teruji, tidak bisa menolak persepsi negatif masyarakat.   Masih ingat bagaimana kiprah Ketua PPATK saat masyarakat haus akan informasi nyata tentang aliran dana dari Bank Century?   Bagaimana masyarakat saat itu dibuat bingung dengan pernyataan Ketua PPATK sebelum dan sesudah menghadap Presiden.  Sangat bertolak belakang.
Dalam urutan empat besar nama calon pimpinan KPK sekarang juga ada Ketua Komisi Etik KPK.  Bagaimana mungkin orang yang sedang menangani kasus keterlibatan Chandra Hamzah dalam masalah hukum, dia sendiri juga menginginkan menjadi ketua KPK,  jabatan yang saat ini sedang menjadi tanggungjawabnya untuk diawasi?   Mungkin istilah  ”pagar ingin jadi tanaman” sangat cocok untuk mewakili hal ini.
Namun bagaimanapun kita masih berharap banyak pada para pimpinan KPK terpilih nantinya.  Akankah mereka sanggup mengemban tugas negara sedemikian berat, di tengah desakan,  sodokan bahkan bantingan dari kiri-kanan 

Tuhan, AgamaMu Apa…?



Ketika langit di atas rumah masih berwarna kuning kemerahan, si Noe, gadis kecil yang belum genap 7 tahun itu sedang menyirami anggrek di halaman rumah bersama embah putrinya, perempuan tua berumur 70 tahun.  Si Noe kelihatan asyik sekali menikmati aktivitas menyirami bunga itu.  Gerak geriknya memancarkan keriangan dan kemanjaan khas anak-anak.  Sambil berdiri, tangan kanannya memegangi selang yang memercikkan air ke tanaman, sementara tangan kirinya methentheng di pinggang dan kepalanya agak oleng ke kiri.  Bibirnya menyungging senyum sementara matanya memandangi anggrek yang ia sirami. “Cik..cik…cik…….” begitu bunyi air yang meloncat-loncat bergantian menyentuh tanaman dan jatuh ke tanah.
“Airnya jangan banter-banter,  ya Nok,  supaya bunga anggreknya tidak rontok”,  kata embah putri kepada cucunya.
“Segini ini kebanteren nggak, Mbah..?”, tanya si Noe minta pertimbangan.
“Ya…, segitu itu pas”, kata simbah.
Pembicaraan mereka kemudian terhenti karena masing-masing asyik dengan aktivitas mereka. “Cik..cik…cik..” bunyi air terdengar di antara diamnya simbah dan cucu ini.
Tangan keriput embah putri ini masih terampil  mencabuti rumput-rumput kecil di dalam pot-pot bunga. Memang tangan itu sejak muda telah terlatih melakukan aktivitas demikian karena sering membantu orangtuanya bekerja di sawah sepulang dari sekolah di  desa.  Tangan itu juga sangat terampil merangkai bunga karena sering dimintai tolong menghias altar untuk keperluan misa di kampusnya ketika masih menjadi mahasiswi fakultas teologi.
“Hi…hi…hi….”’ si Noe tertawa-tawa kecil ketika menyaksikan bunga anggrek yang disiraminya itu mengangguk-angguk lucu.
“Mbah, lihat Mbah.  Bunga anggreknya mengangguk-angguk!” kata si Noe kegirangan sambil menunjuk bunga yang sedang disiraminya.
“Wah…iya..ya. Bunga anggreknya mengangguk-angguk”, kata embah putri menanggapi kegirangan cucunya.
“Mbah…  Bunga anggreknya kok mengangguk-angguk  kenapa sih mbah?”, tanya si Noe lugu.
Si embah yang mantan guru agama desa itu termenung sejenak memikirkan jawaban atas pertanyaan cucunya yang polos itu.  Kecerdasannya yang dulu terbukti mampu mengikuti kuliah teologi selama delapan semester dan meraih gelar sarjana dengan predikat Cum Laude,  sekarang sedang diuji oleh pertanyaan cucunya.  Wow, ia menemukan jawabannya!
“Nok,  cah ayu,  bunga anggrek itu mengangguk-angguk karena mengucapkan terima kasih kepadamu. Ia merasa segar karena disirami air setiap hari.   Jadi, ia berterima kasih.”
Mendengar jawaban itu,  si Noe tersenyum senang sambil matanya memandangi bunga yang mengangguk-angguk kepadanya.
“Mbah…  Kata bu guru ngaji, orang yang bisa mengucapkan terima kasih itu orang yang baik.  Bener nggak,  Mbah?” tanya si Noe lagi.
“Pasti, nok”
“Kata bu guru ngaji, orang yang baik itu disayangi Tuhan ya, Mbah” tanya Noe lagi.
“Ya pasti,  nok”
“Orang yang disayangi Tuhan itu besok masuk surga ya, Mbah?”
“Sudah pasti,  nok”
Si Noe diam sejenak,  sementara wajahnya tiba-tiba berubah menjadi serius.  Si embah putri masih memperhatikan perubahan wajah itu namun ia diam tanpa pertanyaan sedikitpun.
“Cik..cik…cik..cik..” suara air terdengar jelas. Gadis kecil yang masih sekolah di Taman Kanak-kanak Santa Maria itu sedang memikirkan pertanyaan yang agak sulit bagi dirinya.   Ia disekolahkan di Santa Maria oleh orangtuanya karena itulah satu-satunya sekolah terdekat,   namun setiap sore  ia belajar mengaji karena kedua orangtuanya adalah muslim yang saleh.  Meski ibunya dulu Katholik,  sekarang beralih menjadi Islam dan rajin sholat karena menikah dengan ayahnya.   Sore ini ia tidak mengaji karena libur.   Guru mengajinya sedang punya hajat menyunatkan anak laki-lakinya.
“Mbah… Teman-teman di sekolah bilang kalau orang yang masuk surga hanya orang yang mengikuti Tuhan Yesus.   Katanya,  tanpa Tuhan Yesus orang tidak bisa masuk surga.  Betul nggak,  Mbah?”
Mbah putri yang sarjana teologi itu agak bingung mencari jawaban pas untuk cucunya yang lugu.  Namun kecerdasannya membantunya untuk menjawab.
“Nok…. cah ayu, Tuhan Yesus itu orang baik sekali.   Dia suka menolong orang lain.  Jadi dia masuk surga.   Semua orang yang baik seperti Tuhan Yesus itu disayangi Tuhan dan masuk surga”.
“Orang yang mengikuti Yesus namanya orang Kristen ya, Mbah?”
“Iya”, jawab embahnya singkat
“Kalau orang Islam, masuk surga juga to, Mbah?”
“Iya dong.  Orang Islam ‘kan berdoa kepada Tuhan dan berbuat baik kepada orang lain.   Jadi disayangi Tuhan”.
Tiba-tiba, “Noe..! Mau ikut sholat sama ibu nggak?” Suara ibunya seketika menghentikan pembicaraan mereka.
“Ikut!” jawab Noe.
“Mbah…  Noe sholat dulu sama ibu ya, Mbah”
“Ya, ya,  sana sholat dulu biar disayangi Tuhan”  jawab simbahnya sambil membereskan selang dan cethok.
Pembicaraan sore itu sangat melekat dalam ingatan Noe,  gadis kecil  itu.   Ia sangat puas dengan jawaban-jawaban embahnya.  Malam harinya, ia tertidur pulas karena senang.  Wajahnya tenang dan nafasnya teratur sekali. Bintik-bintik keringat menempel di dahinya yang bersih.  Ia kemudian bermimpi bertemu Tuhan. Dalam mimpinya, Tuhan seperti embah putrinya dan suka menyiram anggrek.
“Tuhan….  bunga anggreknya mengangguk-angguk berterima kasih kepada Tuhan karena disirami”  kata si Noe cerah sambil menunjuk pada bunga.
“Oh,  iya.  Kamu pintar sekali.  Siapa yang mengajarimu,  Noe?”
“Embah putri”, jawab Noe bangga.
“Wah…   embah putrimu pasti baik sekali.  Senang ya punya embah putri seperti itu” kata Tuhan penuh pengertian.
“Iya, mbah putri baik sekali sama Noe.  Emmm…. orang yang baik seperti embah putri besok masuk surga ya?” tanyanya polos.
“Oh, tentu.   Orang baik seperti embah putrimu pasti masuk surga” kata Tuhan meyakinkan.
“Orang baik seperti Tuhan Yesus juga masuk surga ‘kan?’
“Oh ya, Tuhan Yesus juga masuk surga”
“Orang kristen yang mengikuti Tuhan Yesus dan suka menolong orang lain masuk surga juga ya?”
“Iya”
“Kalau orang Islam,   masuk surga juga?”
“Iya”
“Tuhan….   Tuhan itu kristen apa Islam?” tanya Noe polos sekali.
“Ha…ha…ha..  Nok, cah ayu” jawab Tuhan sambil mengusap kepala si Noe, gadis kecil yang belum genap 7 tahun itu. “Tuhan tidak punya agama, sayang”.
“Tuhan tidak mengikuti Tuhan Yesus?”
“Tidak”
“Tuhan sholat seperti Noe tidak?”
“Tidak”
“Terus,  besok Tuhan masuk surga tidak?” tanya Noe semakin penasaran.
“Sudah pasti,  sayang…” jawab Tuhan sambil tersenyum.
“Lho, kok bisa?” tanya si Noe penuh keheranan.
Tuhan tertawa sambil terus asyik menyiram anggrek, sementara si Noe yang kecil itu terbangun dari mimpinya.***
—————————————————————————————————————————
Cerita ini terinspirasi oleh adanya penangkapan orang yang mengenakan kaos bertuliskan “Tuhan , agamaMu apa..?” oleh Polisi dan FPI di Solo.
Origin by: Indro Suprobo

Teori Pembusukan Indonesia



Sejak runtuhnya rezim Orde Baru dan munculnya Orde Reformasi,  Indonesia memasuki tahapan penting untuk menjadi negara demokrasi baru, bahkan menjadi negara demokrasi dengan jumlah penduduk keempat terbesar di dunia.  Tentunya ini menjadi hal  yang membanggakan.   Setelah sekian puluh tahun di bawah rezim otoriter,  Indonesia seolah menghirup angin segar demokrasi yang dibawa oleh ratusan aktivis mahasiswa dan tokoh reformasi waktu itu.   Banyak komentar optimis menyikapi perubahan mendasar di Indonesia waktu itu, baik itu datang dari kalangan  internal maupun tokoh-tokoh regional bahkan internasional.    Indonesia diharapkan akan menjadi pilar kekuatan demokrasi baru di Asia Tenggara mengimbangi pengaruh dominasi China dan India.
Namun dengan berjalannya waktu,  komentar-komentar bernada optimis itu semakin surut.   Yang tersisa tinggal keragu-raguan tentang kelangsungan tujuan reformasi.   Dengan semakin bertambahnya jumlah penumpang gelap kereta reformasi,   tujuan akhir yang semula dirancang demi kesejahteraan seluruh masyarakat telah menyimpang dengan mengedepankan tujuan kelompok-kelompok kecil bernama partai politik,  keluarga bahkan agama.
Munculnya gerakan fundamentalis agama setelah jatuhnya Soeharto mengindikasikan Indonesia masih akan menghadapi jalan panjang menuju tujuan reformasi sesungguhnya.   Dengan kembalinya tokoh-tokoh fundamentalis agama ke Indonesia pasca reformasi, setelah pada masa Soeharto mereka tidak mendapat tempat di masyarakat,  membuat Indonesia semakin riuh dan bergejolak bahkan sampai saat ini.
Praktik puritanisme yang mengedepankan tekstual menjadi prioritas utama tindakan-tindakan kelompok fundamentalis ini.   Mereka mengesampingkan nurani dan akal sehat dalam menjalankan aktivitas keagamaannya.  Mereka menginginkan menjadi penilai,  hakim sekaligus eksekutor bagi apapun yang mereka rasa berbeda dari yang mereka pikirkan atau apa yang diperintahkan kepada mereka.
Praktik mengatasnamakan agama seperti ini memang dapat tumbuh subur di tengah masyarakat kita yang galau dengan situasi sosial di sekitar mereka.  Situasi sosial dimana peran pemerintah sebagai regulator menjadi nihil, pemerintah sedang sibuk menemukan formula yang pas untuk diolah menjadi citra,  masyarakat menjadi bingung menentukan yang terbaik bagi mereka sendiri.   Dalam kondisi seperti itu,  kejadian apapun di tengah masyarakat seolah membawa harapan baru, apalagi dalam frekuensi yang teramat sering,  akan menjadi kebenaran baru yang mereka yakini akan dapat membawa perubahan ke arah lebih baik.
Perebutan  pengakuan nilai kebenaran di masyarakat ini sangat disadari oleh kelompok-kelompok yang memang mengadvokasi kekerasan tersebut.   Dalam pikiran mereka,  semakin sering mereka melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat,  daya tahan masyarakat untuk menolak hal-hal tersebut akan semakin tipis,  hingga pada akhirnya takkan ada lagi resistensi  terhadap tindakan-tindakan anarkis mereka.    Bahkan acapkali mereka justru mampu mengajak orang-orang yang semula menolak tindakan-tindakan tersebut.   Apabila titik ini sudah tercapai,  maka runtuhlah tatanan lama yang sudah dianut oleh masyarakat selama ini.   Tatanan itu diganti dengan tatanan baru yang sesuai dengan selera kelompok tersebut dengan tanpa adanya resistensi dari masyarakat lagi.   Suatu teori yang sebenarnya sederhana namun membutuhkan perjuangan panjang  dan kesabaran.
Hal yang serupa sudah  terjadi di Afghanistan semenjak kekalahan Uni Sovyet pada pertengahan dekade delapan puluhan hingga saat ini.    Munculnya sekte-sekte berbasis kesamaan pemahaman agama yang jumlahnya puluhan,  seketika dilindas oleh munculnya Taliban sebagai kekuatan besar yang  memonopoli kebenaran versi mereka sendiri.   Apa yang benar menurut Taliban,  itu yang harus menjadi kebenaran baru bagi mereka juga.  Penghancuran patung-patung warisan budaya berumur berabad-abad oleh Taliban karena dianggap sebagai bidaah tentu dapat menjadi contoh konkrit tentang hal ini.
Jadi peristiwa peledakan Candi Borobudur tahun delapan puluhan,  penghancuran patung naga di Pontianak,  patung wayang di Purwakarta dan lain-lain,  itu menjadi pertanda bahwa kaum fundamentalis-puritanisme-tekstual  sedang berjuang menggeser nilai-nilai kebenaran yang berlaku di masyarakat.   Mereka mencoba menggantinya dengan nilai kebenaran versi mereka dan dipaksakan menjadi kebenaran tunggal.
Di tengah kebingungan masyarakat akan situasi sosial-politik yang carut marut,   di tengah budaya kekerasan yang mulai menjadi trend di kalangan orang muda di seluruh tanah air,  di tengah maraknya fanatisme kesukuan dan kelompok yang cenderung mengkotak-kotak,   kaum fundamentalis-puritanisme-tekstual itu akan dengan mudah menjejalkan kebenaran-kebenaran baru kepada masyarakat.   Kebenaran yang sebenarnya tak mungkin dengan mudahnya dipaksakan dalam masyarakat  sehat mental- spiritual dan mampu mencerna dengan jernih setiap peristiwa yang mereka alami.
Indonesia yang sudah membusuk akan dengan mudah menjadi tumpuan perjuangan selanjutnya, bahkan akan memunculkan tunas-tunas cendawan fundamentalisme baru versi asli Indonesia.   Apabila hal ini sudah tercapai,  jangan berharap akan ada pertunjukan wayang kulit, gamelan, jaipong ataupun ondel-ondel di masyarakat Indonesia.    Jangan berharap Tugu Monas, candi Borobudur dan Prambanan masih akan berdiri.   Semua akan dihancurkan karena dianggap bidaah dan akan diganti dengan  sesuatu yang menurut mereka lebih “sesuai” dan lebih mengena di hati masyarakat.
Saya yakin seluruh elemen masyarakat Indonesia saat ini tidak menginginkan hal ini terjadi.  Indonesia tidak akan menjadi Afghanistan kedua,  tempat  seluruh nilai kebenaran dimonopoli oleh kelompok yang kebetulan berkuasa,   suatu negara yang mengadopsi seratus persen budaya dari negara lain dengan menghancurkan budaya asli sendiri.
Semoga semua ini tidak akan pernah terjadi di Indonesia.

Rabu, 02 Mei 2012

Power Tends to Corrupt


Sebenarnya judul di atas masih ada kelanjutannya yaitu, “Absolute Power Tends to Corrupt Absolutely.” Ini mengutip judul dissertasi seorang jenius asal Jerman, Emmanuel Kant pada paruh kedua abad ke-19 sebagai reaksi atas semakin maraknya tuntutan demokrasi di sebagian besar benua Eropa. Kant dan para pengikutnya yang menyebut diri mereka Kantian, mengamini kecanggihan sistem demokrasi untuk melawan sistem monarki yang sangat dominan pada waktu itu. Sebagai tumbalnya, sistem monarki Perancis yang sudah mapan selama berabad-abad tergilas oleh demokrasi yang dikenal dengan revolusi Perancis.
Dalam banyak hal, sistem demokrasi dianggap sebagai jawaban atas sistem monarki absolut pada saat itu. Namun seiring berjalannya waktu, pada beberapa negara yang menganut sistem demokrasi yang sudah matang, adanya elemen-elemen demokrasi yang tidak berimbang akan juga menghasilkan kekuasaan absolut. Bahkan kekuasaan absolut dalam sistem demokrasi akan “bermain” lebih cantik daripada monarki absolut.
Menyikapi perkembangan politik sekitar Timur Tengah akhir-akhir ini, nampaknya era Kantian masih belum usai. Berawal hanya sekedar keisengan kelompok menengah di Tunisia yang menginginkan perubahan mendasar dalam penerapan demokrasi di negara mereka, hal tersebut menular ke negara tetangga yang dianggap memiliki kemiripan seperti, Mesir, Iran, Bahrain, Yaman dan yang terhangat saat ini, Libya. Meskipun sebagian negara-negara itu sudah menganut sistem demokrasi, rakyat menganggap power yang diberikan kepada pemimpin mereka terlalu berlebihan sehingga ada indikasi menjadi absolut. Power yang absolut memicu kecenderungan corrupt yang absolut.
Saya tidak ingin membicarakan negara lain. Tapi kalau ada sebuah partai politik yang mendulang perolehan suara fantastis dalam kurun waktu hanya delapan tahun semenjak didirikan, dan karenanya memperoleh kekuasaan yang sangat besar dalam legislatif maupun eksekutif, dalil Kant tidak akan meleset. Terlepas dari apakah perolehan suara itu didapat melalui pemilu yang fair, setelah kurang lebih dua tahun semenjak 2009, nampak sudah semakin benderang bahwa power memang memiliki kecenderungan untuk corrupt. Tak perlu banyak diskusi di berbagai forum media nasional, kehadiran corrupt hanya bisa dirasakan. Jauh hari Kant sudah mengingatkan, meskipun negara sudah menganut sistem demokrasi yang matang, tanpa adanya elemen-elemen demokrasi yang berimbang, akan menghasilkan power yang absolut dan absolute power tends to corrupt absolutely.
Semoga pemegang power tidak pernah lupa bahwa akan selalu ada Kantian-kantian muda yang siap mengoreksi power yang diberikan kepada mereka apakah akan cenderung menjadi power yang absolut. Dan semoga angin dari Timur Tengah tidak berhembus semakin ke timur dan membawa dampak yang merata di negara-negara yang dianggap memiliki absolut power.

******

Ambon : Luka Lama Menganga Kembali



Berawal dari kejadian sederhana,  namun berlanjut berkepanjangan hingga menyulut hal-hal  sensitif.  Itulah yang terjadi di Ambon sejak Sabtu malam, 10 September 2011.   Seorang tukang ojek yang kebetulan muslim memasuki daerah komunitas Kristen dan mengalami kecelakaan sampai meninggal.
Saksi mata memang mengatakan bahwa sepeda motor dalam kecepatan tinggi menapaki jalanan menurun dalam kondisi hujan,  lalu menabrak bak sampah dan mengalami  luka menganga di dada.  Namun keluarga korban menganalisa kejadian itu dengan pemikirannya sendiri.   Mereka mencurigai korban dibunuh oleh komunitas Kristen di tempat kejadian.   Akibat dari itu,  pada Minggu siang setelah selesai pemakaman,  masa yang berkumpul melayat terprovokasi untuk melakukan penyerangan ke komunitas Kristen.   Akhirnya gayung bersambut.  Terjadi saling balas melempar batu antar kedua komunitas sampai menjelang malam.   Kendaraan-kendaraan yang lewat menuju ke arah komunitas Kristen pun dicegat dan dibakar di tempat.
Menjelang tengah malam bahkan sampai siang hari ini,  suara tembakan sudah mulai terdengar dari kedua pihak.  Sepertinya senjata-senjata yang mereka simpan selama kerusuhan beberapa tahun lalu sudah mereka gunakan kembali.  Asap hitam dan putih membumbung tinggi di beberapa tempat menandakan ada rumah ataupun toko-toko yang terbakar.
Ambon.  Persaudaraan bernama pela-gandong yang tumbuh antar dua komunitas Islam-Kristen yang sudah terbukti ampuh menyatukan mereka, akhirnya bobol kembali.   Kebenaran semu yang mereka yakini sendiri dalam menyikapi peristiwa tukang ojek,  mereka jadikan dasar untuk menyerang saudara mereka sendiri.  Pola pikir sempit,  pemahaman agama pas-pasan,  tingkat pendidikan kurang memadai,   dijadikan alat oleh pihak lain untuk memprovokasi saudara mereka sendiri untuk beringas dan menyerang.  Mata nanar dan wajah-wajah penuh kebencian berkeliaran di jalanan, menyimpan parang di balik punggung bahkan terang-terangan menyeretnya  di aspal jalanan sampai terdengar bunyi berdecit.
Orang harus bertanya kenapa tukang ojek mati kecelakaan, harus orang  Kristen yang disalahkan.  Orang harus bertanya kenapa tiba-tiba bendera Palestina bisa berkibar disana.   Orang harus bertanya siapa yang telah berani mengumpuklan orang demikian banyak pada saat pemakaman.  Orang harus bertanya kenapa aparat intel polisi tidak mengantisipasi kejadian ini sebelumnya.
Mestinya semuanya diserahkan pada aparat penegak hukum untuk menyelesaikannya.  Mestinya masyarakat tidak membenarkan pendapatnya sendiri lalu mengambil tindakan agresif terhadap komunitas lain.  Mestinya masyarakat punya filter terhadap berita-berita menghasut yang sengaja dihembuskan pada mereka.  Mestinya mereka tidak memposisikan diri mereka seolah berjuang membela agama dengan cara membunuh saudara mereka sendiri.  Mestinya….  ah.. entahlah.
Yang pasti tembakan sudah terdengar,  asap kebakaran sudah mengepul dan beberapa nyawa sudah melayang.  Luka lama sudah menganga kembali.   Ambon,  kapan kalian  mau belajar…?
——————————————————————————