Kamis, 03 Mei 2012

Darimanakah Mereka Itu…?


Dalam sebuah wawancara pribadi dengan Gus Dur di kantornya Kramat Raya, Jakarta awal  2007 untuk melengkapi bahan dissertasi,  saya sudah menyiapkan beberapa pertanyaan penting yang berkaitan dengan bangkitnya fundamentalisme Islam di Indonesia,  lebih khusus lagi setelah jatuhnya Soeharto atau lebih dikenal sebagai era reformasi.    Setelah seluruh pertanyaan saya sodorkan kepada sekretaris pribadinya dan dinyatakan lolos,  saya mulai sesi wawancara itu.
Setelah diawali dengan guyonan segar ala Gus Dur sebagai “ice breaker”,  mulailah ke pertanyaan inti.
Saya (S):  “Apa tanggapan Gus Dur sebagai pemuka organisasi massa Islam terbesar di Indonesia melihat mulai bangkitnya fundamentalisme Islam di Indonesia pasca reformasi..?”
Gus Dur (GD):  “Ah, biarkan saja.   Biar masyarakat yang menilai apa yang baik menurut mereka.”
Perlu diketahui bahwa saat itu sedang hangat-hangatnya dibicarakan tentang birokratisasi gerakan Islam, sebuah upaya memasukkan gerakan Islam radikal ke dalam sistem birokrasi, antara lain dengan munculnya partai-partai baru berbasis Islam fundamentalis yang mulai laris bak kacang goreng.
S  :   Gus,  sekarang ini perhatian  masyarakat bahkan di pedesaan sudah mulai beralih dari kiai-kiai kampung yang selama ini menjadi panutan mereka ke Habib-habib yang mengaku memiliki hubungan darah dengan Nabi Muhammad. Apakah tidak ada langkah antisipatif dari NU sebagai organisasi Islam mainstream menyikapi hal ini..?
GD  :  Hanya waktu yang akan membuktikan kebenaran semua itu.  Nahdlatul Ulama sebagai organisasi tak punya agenda khusus untuk menyikapi hal ini.  Meskipun tahun ini (2007) dicanangkan sebagai tahun kampanye bagi pentingnya gerakan Islam moderat di Indonesia,  penilaian akhir tetap diserahkan kepada masyarakat.
S  :   Bagaimana dengan munculnya partai-partai islam yang berbasis fundamentalisme ini,  Gus.
GD  :  Meskipun nampaknya mereka sudah mulai besar, bahkan kelihatannya lebih besar daripada partai Islam lain,  sebagai contoh pencalonan gubernur DKI oleh partai ini,  ada bocoran bahwa calon gubernur  sudah mengeluarkan 14 Milyar untuk memuluskan hal itu,   keadaan ini tidak akan berlangsung lama.   Lihat saja nanti Pemilu 2009, mereka tidak akan sebesar yang dikira.
Gus Dur tidak menduga bahwa tak lama setelah itu, terjadi penggembosan dari dalam PKB sendiri oleh keponakannya.  Dan mungkin sebagai akibat dari itu,  partai Islam fundamentalis memperoleh kenaikan suara signifikan pada pemilu 2009.
S  :   Sebenarnya siapa dan darimana mereka ini, Gus..?
GD  :   Organisasi mereka berawal dari keprihatinan yang terjadi di Palestina.  Mereka mengorganisasi diri dan menamakan “Moslem Brotherhood”  atau Ikhwanul Muslimin dan menyebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia.    Organisasi yang dilarang di negeri asalnya Mesir ini,  merembet melalui mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang belajar di sana.   Mereka membawa ideologi terlarang ini setelah mereka pulang ke Indonesia. Mereka mengadopsi kekerasan sebagai solusi dan selalu mengatasnamakan rakyat Palestina sebagai alasan apapun tindakan mereka.
Saya jadi ingat beberapa waktu sebelumnya pernah ada warning dari seorang penulis di harian terkenal di Indonesia tentang pentingnya mewaspadai mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Mesir terhadap kemingkinan terimbas gerakan Islam fundamentalis ini.
Saya juga berusaha menarik benang merah tentang  apa yang saya dapat dari Gus Dur ini dengan pernyataan Presiden PKS menyikapi konflik Maluku tahun1999-2001.  Saat itu, di tengah upaya pihak keamanan disana untuk meredam konflik horizontal tersebut, dalam pernyataan resminya yang di-release dan ditandatangani oleh Nur Mahmudi Ismail sebagai Presiden,   PKS  justru memprovokasi masyarakat Islam Maluku untuk mempersenjatai diri melawan saudara mereka.   Akibat dari ini,  konflik di Maluku terjadi berkepanjangan dan baru benar-benar berakhir tahun 2004.   Itupun setelah TNI mengeluarkan Batalyon gabungan untuk menyingkirkan Laskar Jihad yang ikut andil membuat konflik semakin semarak disana.
Sekarang ini sudah sekitar empat tahun sejak wawancara itu.   Saya semakin merasakan banyak yang relevan dengan pernyataan Gus Dur.   Kekerasan berdalih agama sudah semakin sering terjadi dan seolah menjadi semakin lumrah.   Penghormatan terhadap hukum sudah mendekati titik nol.  Bahkan ada kelompok masyarakat yang merasa berdiri di atas hukum dan apapun yang diperbuat takkan tersentuh hukum.   Mereka merasa lebih bersaudara dengan orang-orang di Arab sana daripada dengan saudara sebangsa sendiri.    Bila terjadi bentrokan sedikit saja di Timur Tengah sana,    dengan sigap segera terbentuk pos-pos relawan untuk dikirim kesana.   Sangat kontraditif dengan nasib TKI yang sudah bertahun-tahun terlantar di kolong jembatan,  tak ada satupun relawan yang dikirim kesana.
Saya sebagai pribadi merasa sangat sedih dengan perkembangan terakhir di Cikeusik dan Temanggung hari ini.   Inikah buah yang kita tanam karena kelengahan kita membiarkan gerakan fundamentalis ini berkembang di Indonesia..?   Ibarat bibit pohon,  tunas sudah muncul sejak era reformasi tahun 1998.    Sekarang Indonesia tinggal menuai buahnya.   Buah bukan dari anak kandung pertiwi,  terasa pahit…  getir…!
Semoga menjadi kewaspadaan kita semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar