Kamis, 03 Mei 2012

If I Diminish You, I Diminish Myself


Dalam budaya dan tradisi Afrika, penghargaan tertinggi yang diberikan kepada seseorang adalah: “Yu, u nobuntu,”  sebuah ungkapan terimakasih karena telah melakukan hal-hal yang terpuji, yaitu “ubuntu.”   Hal tersebut diberikan semata-mata karena apa yang telah dilakukan orang tersebut demi kemanusiaan, bagaimana menghargai sesama dan bagaimana mereka memandang mereka sendiri dalam sebuah relasi yang mendalam.   “Ubuntu” mengacu pada ajaran pokok filosofi Afrika yaitu esensi bagaimana manusia menjadi manusia.
Konsep ini dibagi menjadi dua bagian.  Pertama, seseorang harus bersikap bersahabat, ramah, peduli dan tenggang rasa.  Dengan kata lain, seseorang yang menggunakan kekuatannya mewakili sesamanya–orang yang lemah dan menderita–tidak mengambil keuntungan pribadi dari hal itu.   Orang tersebut memperlakukan sesamanya seperti halnya dirinya sendiri ingin diperlakukan.  Akibat dari hal ini,  mereka menggunakan konsep kedua yaitu keterbukaan dan berjiwa besar yang menitikberatkan pada berbagi nilai-nilai kebersamaan.
Seseorang dengan konsep “ubuntu” akan bersikap persuasif dan terbuka.  Mereka terbiasa bersikap ramah dan simpatik.  Mereka tidak merasa terancam oleh kebaikan orang lain karena satu-satunya tujuan adalah mempersembahkan apa yang mereka miliki untuk kepentingan yang lebih besar.   Sama halnya dengan ungkapan Cartesian berbunyi,  ”Saya adalah apa yang saya pikirkan,”  ubuntu mengungkapkan hal serupa, “Saya manusia karena saya bagian dari kemanusiaan.”    Dengan kata lain,  orang itu ada karena ada orang lain.  Konsep berpikir ini dengan sempurna diterjemahkan ke dalam kata “me-we.”   Tak seorangpun dari kita datang ke dunia ini dengan sempurna.  Kita tak tahu bagaimana cara berjalan, berbicara, berpikir kecuali kita belajar dari manusia sebelumnya.   Jadi kita sangat membutuhkan manusia lain untuk menjadi manusia.
Oleh karena manusia saling membutuhkan,  maka kecenderungan alamiah kita adalah bekerjasama dan saling menolong.  Jika hal ini keliru,  tentunya spesies manusia sudah punah sejak dulu.   Tapi nyatanya tidak.  Manusia tetap bertahan di tengah kejahatan dan perang yang membawa penderitaan dan bencana selama berabad-abad.   Kegagalan mengendalikan kecurangan, kemarahan, keinginan membalas dendam telah nyata merusak harmoni kemanusiaan.   Ubuntu menjelaskan bahwa mereka yang mempromosikan kekerasan  dan de-humanisasi adalah juga sebagai korban,  yaitu korban terhadap etos, ideologi,  sistem ekonomi atau bahkan tujuan agama yang diselewengkan.   Konsekuensinya,  mereka telah ter-dehumanisasi oleh diri mereka sendiri seperti apa yang telah mereka lakukan terhadap sesamanya.
Ketika mereka melakukan semuanya secara tak manusiawi,  pada saat yang sama sebenarnya mereka sedang melakukan hal yang sama terhadap diri mereka sendiri.  Orang yang berlaku semena-mena terhadap orang lain sesungguhnya dia sedang berlaku semena-mena terhadap diri mereka sendiri.
Jadi nyata sekali bahwa untuk keluar dari situasi tersebut dibutuhkan kebesaran jiwa.  Inilah esensi dari “ubuntu”  atau “me-we”  dan hal ini diwujudkan  secara nyata dalam hidup dan karya Mahatma Gandhi.   Sepanjang hidupnya dia secara konsekuen mengorbankan dirinya dan membuka diri untuk kepentingan sesama.   Segala yang dilakukan oleh Gandhi merupakan cerminan “ubuntu.”   Dia telah menolong yang miskin, menderita dan disingkirkan.  Membebaskan mereka dari kolonialisme,  tak peduli berapapun harga yang harus dibayar sebagai penggantinya.  Pada akhirnya perjuangan itu meminta hidupnya sebagai tebusan.   Gandhi telah mewariskan inspirasi yang nyata terhadap kemanusiaan.
Ubuntu-nya Gandhi menunjukkan bahwa satu-satunya cara kita bisa menjadi manusia adalah memalui cara kemanusiaan.
———————————
Diterjemahkan dari kata pengantar pada buku,  ”Peace, The Words and Inspiration of Mahatma Gandhi,”   oleh Uskup Desmond Tutu.
13024935681994202993


Tidak ada komentar:

Posting Komentar